Namun, pendekatan ini lebih ditujukan untuk perbandingan antarnegara secara global, bukan untuk pengambilan kebijakan nasional secara langsung.
Pendekatan BPS: Relevansi Lokal
Penghitungan ini dilakukan melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan dua kali setahun dan merepresentasikan pengeluaran rumah tangga, bukan individu.
Per September 2024, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp595.242 per kapita per bulan (setara US$3,3 PPP), atau sekitar Rp2.803.590 per rumah tangga per bulan.
Nilai ini disesuaikan menurut wilayah—di DKI Jakarta, misalnya, garis kemiskinan rumah tangga jauh lebih tinggi dibandingkan Nusa Tenggara Timur (NTT) karena perbedaan harga dan pola konsumsi.
Perbandingan Global vs Relevansi Lokal
Garis kemiskinan internasional (global poverty line) yang digunakan Bank Dunia dirancang untuk tujuan perbandingan lintas negara secara makro.
Standar ini membantu komunitas global, termasuk lembaga pembangunan multilateral, dalam memantau kemajuan pengurangan kemiskinan di berbagai negara dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 1 tentang penghapusan kemiskinan.
Dengan menetapkan threshold yang sama untuk kelompok negara tertentu (seperti US$6,85 PPP untuk negara berpendapatan menengah atas), Bank Dunia dapat menilai apakah negara-negara tersebut telah meningkatkan kesejahteraan penduduknya sesuai dengan ambang global yang relevan untuk tahap perkembangan ekonomi mereka.
Baca Juga: Polsek Enok Tangkap Pengedar Sabu, 16 Paket Sabu Diamankan di Desa Benteng Utara
Dalam konteks ini, penggunaan GK global lebih bersifat normatif dan aspiratif: menunjukkan di mana posisi Indonesia dibandingkan negara-negara lain dalam kelompok yang sama, dan seberapa besar tantangan pembangunan yang masih harus diatasi.
Sebaliknya, garis kemiskinan yang digunakan BPS disusun dengan pendekatan berbasis kebutuhan riil masyarakat Indonesia.
Tujuan utamanya adalah memberikan gambaran yang akurat dan kontekstual mengenai siapa saja yang hidup di bawah ambang minimum kebutuhan dasar di setiap wilayah Indonesia.
Dengan begitu, angka kemiskinan BPS dapat digunakan sebagai dasar dalam perumusan dan evaluasi kebijakan publik, seperti program perlindungan sosial, subsidi pangan, intervensi daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), hingga penetapan target dan sasaran dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).