Senin, 22 Desember 2025

Meluruskan Polemik Pengukuran dan Jumlah Kemiskinan di Indonesia: Perspektif BPS dan Bank Dunia

Photo Author
- Jumat, 2 Mei 2025 | 17:39 WIB
Ilustrasi angka kemiskinan beda versi, beda tujuan. (Foto: Pexels)
Ilustrasi angka kemiskinan beda versi, beda tujuan. (Foto: Pexels)

Artinya, pengukuran BPS berfungsi sebagai alat operasional bagi pemerintah untuk menjalankan pembangunan yang inklusif dan berbasis data.

Dengan memahami perbedaan fungsi ini, publik seharusnya tidak terjebak pada perbandingan angka semata.

Keduanya bukan angka yang saling bertentangan, tetapi instrumen yang saling melengkapi: satu untuk melihat arah pembangunan Indonesia dalam perspektif global, dan yang lain untuk menavigasi kebijakan sosial-ekonomi domestik secara tepat sasaran.

Baca Juga: Polri Tunjukkan Pendekatan Humanis, Bagikan Ribuan Air Mineral dan Permen kepada Massa Buruh di DPR

Membaca Angka Kemiskinan dengan Bijak

Ilustrasi potret kemiskinan. (Foto: Pexels
Kebingungan publik banyak terjadi karena kurangnya pemahaman bahwa garis kemiskinan tidak bisa diartikan secara kasar sebagai “pendapatan per orang”.

Sebagai contoh, mengatakan bahwa seseorang yang memiliki gaji Rp20.000 per hari pasti miskin adalah penyederhanaan yang menyesatkan.

Kemiskinan dihitung berdasarkan total konsumsi rumah tangga, bukan pendapatan individual, dan memperhitungkan struktur konsumsi aktual, bukan asumsi.

Selain itu, berada di atas garis kemiskinan pun tidak berarti sejahtera. Masih terdapat kelompok “rentan miskin” (1,0–1,5x garis kemiskinan), “menuju kelas menengah” (1,5–3,5x GK), hingga “kelas menengah” dan “kelas atas”.

Dengan kata lain, angka 8,57 persen dari BPS hanya mencerminkan bagian masyarakat yang benar-benar berada di bawah ambang kebutuhan dasar minimum, sedangkan mereka yang berada sedikit di atas garis ini masih sangat rentan terhadap guncangan ekonomi.

Kesimpulan: Manfaat dari Masing-Masing Pengukuran

Baik pengukuran versi Bank Dunia maupun BPS menggunakan metode yang sama hanya penerapan Garis Kemiskinan (GK) yang digunakan berbeda dan keduanya tidak bertentangan serta memiliki manfaatnya masing-masing.

Pendekatan Bank Dunia bermanfaat untuk analisis perbandingan global, mengukur kesenjangan antarnegara, dan menyoroti tantangan pembangunan jangka panjang dalam konteks internasional.

Sementara itu, pendekatan BPS sangat relevan untuk perumusan kebijakan nasional, karena mencerminkan realitas kebutuhan dan pola konsumsi masyarakat Indonesia.

Pemahaman yang tepat atas metodologi dan tujuan pengukuran ini akan membantu publik, pengambil kebijakan, dan media untuk tidak terjebak dalam polemik angka semata, tetapi fokus pada substansi: bagaimana menurunkan kemiskinan secara berkelanjutan dan inklusif sesuai konteks Indonesia.***

Penulis: Dr. Andri Yudhi Supriadi, SE, ME

Statistisi Badan Pusat Statistik

Halaman:

Editor: Raja H. Napitupulu

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Banjir dan Hasrat Pembangunan

Kamis, 18 Desember 2025 | 11:03 WIB

Menjaga Alam Lewat Bauran Energi

Minggu, 7 Desember 2025 | 16:00 WIB

Simalakama AI untuk Media Massa

Minggu, 28 September 2025 | 13:00 WIB

Listrik Desa sebagai Jembatan Keadilan Energi

Minggu, 7 September 2025 | 13:56 WIB

Listrik Desa untuk Kesejahteraan Masyarakat

Rabu, 3 September 2025 | 20:14 WIB

Deforestasi Indonesia Tanggung Jawab Dunia

Minggu, 12 Januari 2025 | 12:16 WIB

Semua Ada Akhirnya

Rabu, 9 Oktober 2024 | 08:24 WIB
X