Artinya, pengukuran BPS berfungsi sebagai alat operasional bagi pemerintah untuk menjalankan pembangunan yang inklusif dan berbasis data.
Dengan memahami perbedaan fungsi ini, publik seharusnya tidak terjebak pada perbandingan angka semata.
Keduanya bukan angka yang saling bertentangan, tetapi instrumen yang saling melengkapi: satu untuk melihat arah pembangunan Indonesia dalam perspektif global, dan yang lain untuk menavigasi kebijakan sosial-ekonomi domestik secara tepat sasaran.
Baca Juga: Polri Tunjukkan Pendekatan Humanis, Bagikan Ribuan Air Mineral dan Permen kepada Massa Buruh di DPR
Membaca Angka Kemiskinan dengan Bijak
Sebagai contoh, mengatakan bahwa seseorang yang memiliki gaji Rp20.000 per hari pasti miskin adalah penyederhanaan yang menyesatkan.
Kemiskinan dihitung berdasarkan total konsumsi rumah tangga, bukan pendapatan individual, dan memperhitungkan struktur konsumsi aktual, bukan asumsi.
Selain itu, berada di atas garis kemiskinan pun tidak berarti sejahtera. Masih terdapat kelompok “rentan miskin” (1,0–1,5x garis kemiskinan), “menuju kelas menengah” (1,5–3,5x GK), hingga “kelas menengah” dan “kelas atas”.
Dengan kata lain, angka 8,57 persen dari BPS hanya mencerminkan bagian masyarakat yang benar-benar berada di bawah ambang kebutuhan dasar minimum, sedangkan mereka yang berada sedikit di atas garis ini masih sangat rentan terhadap guncangan ekonomi.
Kesimpulan: Manfaat dari Masing-Masing Pengukuran
Baik pengukuran versi Bank Dunia maupun BPS menggunakan metode yang sama hanya penerapan Garis Kemiskinan (GK) yang digunakan berbeda dan keduanya tidak bertentangan serta memiliki manfaatnya masing-masing.
Pendekatan Bank Dunia bermanfaat untuk analisis perbandingan global, mengukur kesenjangan antarnegara, dan menyoroti tantangan pembangunan jangka panjang dalam konteks internasional.
Sementara itu, pendekatan BPS sangat relevan untuk perumusan kebijakan nasional, karena mencerminkan realitas kebutuhan dan pola konsumsi masyarakat Indonesia.
Pemahaman yang tepat atas metodologi dan tujuan pengukuran ini akan membantu publik, pengambil kebijakan, dan media untuk tidak terjebak dalam polemik angka semata, tetapi fokus pada substansi: bagaimana menurunkan kemiskinan secara berkelanjutan dan inklusif sesuai konteks Indonesia.***
Penulis: Dr. Andri Yudhi Supriadi, SE, ME
Statistisi Badan Pusat Statistik
Artikel Terkait
Nilai Tukar Petani Januari Capai 118,27, Ini Penjelasan BPS
BPS: Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I/2024 Capai 5,11 Persen, Tertinggi SejakĀ 2015
Dari Efisiensi Anggaran ke Pertumbuhan: Bagaimana BPS Membantu Memetakan Dampak Program Makan Bergizi Gratis
Membangun Masa Depan: BPS dan Strategi Menuju Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Mewujudkan Integrasi Data Nasional: Peran Sentral BPS dan Urgensi Perubahan UU Statistik