Kata mereka, istilah tersebut, sering dikaitkan dengan sistem pranata (prinsip, norma, aturan dan keputusan) yang disepakati bersama dalam mengatur interaksi aktor terkait isu hutan dan kehutanan.
Desain arsitektur sistem pranata ini bertumpu pada upaya peningkatan kerja sama internasional untuk mendorong kelola hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Bentuknya pun beragam. Ada yang sifatnya multilateral, dalam kerangka hubungan internasional di bawah PBB, seperti United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC, Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD).
Ada juga kerjasama bilateral seperti Rencana Aksi FLEGT untuk pemberantasan pembalakan dan perdagangan kayu ilegal, antara Uni Eropa (UE) dan negara pengekspor produk kayu (termasuk Indonesia).
Baru-baru ini, UE juga meluncurkan regulasi anti deforestasi (EUDR), yang didesain untuk mencegah masuknya produk-produk yang disinyalir mendorong deforestasi.
Belum lagi sistem pranata berbasis pasar, seperti sertifikasi ekolabel dan perdagangan karbon. Dan masih banyak lainnya.
Sandera Kepentingan
Laporan terbaru International Union of Forest Research Organizations (IUFRO) berjudul International Forest Governance: A critical review of trends, drawbacks, and new approaches (2024) kembali menggarisbawahi kurang efektifnya rejim kehutanan internasional.
Hingar bingar politik kehutanan global dimulai jelang United Nations Conference on Environment and Development (Rio de Janeiro 1992), yang diharapkan melahirkan sebuah sistem hukum kehutanan internasional yang mengikat (Global Forest Convention/GFC).
Baca Juga: Kabin Mobil Mulai Terasa Panas? Ketahui Penyebab AC Tidak Dingin dan Cara Mengatasinya
Anti klimaks di Konferensi Rio; GFC gagal disepakati karena sandera kepentingan dan political standoff Utara-Selatan.
Kelompok negara maju (economically-developed countries) menuntut kelola hutan yang tidak serampangan dan ugal-ugalan, namun enggan memberikan dukungan finansial dan teknologi yang memadai, seperti harapan negara berkembang.
Kehutanan pasca Rio, sampai jelang masuknya millenium baru, ditandai political distrust kedua kelompok kepentingan.
Berbagai dialog kehutanan internasional, seperti dalam United Nation Forum on Forests, lebih menekankan upaya memulihkan luka pasca Rio dan membangun rasa saling percaya antar kedua belah pihak, alih-alih untuk mengejar agenda substantif.
Pasca Rio, munculnya inisiatif berbasis pasar, yakni sertifikasi pengelolaan hutan lestari oleh Forest Stewardship Council (FSC).
Model pranata ini menjanjikan insentif pasar, yakni harga premium dan akses pasar bagi produk yang berasal dari hutan serta dikelola secara lestari. Inipun ditengarai sebagai manifestasi kepentingan proteksi pasar kayu di negara maju.
Artikel Terkait
Presiden Prabowo Tegaskan Perang Melawan Mark Up Anggaran: Itu Merampok Uang Rakyat
Resmi Dari Presiden Prabowo, Per 1 Januari Kenaikan PPN 12 Persen Mulai Diterapkan, Ini Rinciannya
Prabowo Tepati Janji Makan Bergizi Gratis Mulai Dinikmati di 26 Provinsi Hari Ini
Dorong Proyek 1 Juta Hunian, Prabowo Subianto Gandeng Investor Qatar
Bentuk Data Tunggal Sosial Ekonomi untuk Tingkatkan Efektivitas Program Pemerintah, Gus Ipul: Terobosan di Era Presiden Prabowo