eksplanasi

Deforestasi Indonesia Tanggung Jawab Dunia

Minggu, 12 Januari 2025 | 12:16 WIB
Ilustrasi deforestasi. (Foto: Pexels)

Hal ini dikarenakan standar (kriteria & indikator) yang dirasakan sangat restrictive (sulit dipenuhi) bagi pengelolaan hutan di negara berkembang.

Tembakan salvo ini kemudian direspon oleh (mayoritas) negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia dan Brazil. Perang sertifikasi pun meletus.

Gula-gula Palsu

Isu kehutanan kemudian hanya sebatas disisipkan di agenda internasional lain, seperti pencegahan perubahan iklim (UNFCCC), keanekaragaman hayati (CBD), dan pencegahan penggurunan (dessertification).

Untuk menarik minat, ditawarkan skema kompensasi finansial untuk pengelolaan hutan berkelanjutan.

Hadirlah berbagai skema payment for environmental service. Dalam Kyoto Protocol (1997) muncullah Clean Development Mechanism (CDM), untuk “membantu” negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan dan membantu negara maju untuk memenuhi mandat pengurangan emisi. Sekilas, win-win solution!

Proyek CDM dikatakan akan memberikan 2 keuntungan, dana pembelian pengurangan emisi, dan dana investasi pembangunan berkelanjutan. Alih-alih keuntungan, banyak

negara berkembang tidak terlalu berminat karena syarat rumit dan berat untuk dipenuhi. Studi Comier & Bellasen (2013) hanya 30% dari proyek CDM yang didanai tepat waktu. 30% lainnya malah gagal total, mayoritas (69%) di tahap awal.

Juga hadir skema REDD+ yang ironisnya Indonesia merupakan salah satu penggagasnya. Konsepnya mirip dengan CDM, upaya memperlambat laju deforestasi dan degradasi akan diberikan penghargaan finansial.

Beberapa tahun terakhir, Indonesia cukup antusias dengan janji manis ini. Namun belum ada dana signifikan yang mampu diraih.

Mungkin hanya beberapa uang receh dari Norwegia. Beberapa peneliti ternama malah menyakini: “REDD is dead, it’s time to cut our losses and move on”.

Redford dkk. (2013) dalam jurnal ilmiah Conservation Biology menyatakan bahwa REDD+ hanya menambah panjang katalog “conservation fads”, yang awalnya disambut antusias namun akhirnya ditinggalkan.

Hingar bingar REDD+ hanya menegaskan narasi deforestasi (termasuk di Indonesia) adalah penyebab utama perubahan iklim, yang menyapu habis ingatan kita bahwa sesungguhnya sektor industri-transportasi-energi (negara maju) lah yang menjadi kontributor utama emisi karbon.

Kekesalan Indonesia

Saya merasakan kekesalan pemerintah Indonesia 2 tahun terakhir ini. Atas undangan UE-lah Indonesia menandatangani Kesepakatan Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement/VPA) untuk memastikan perdagangan produk kayu legal, dengan janji akses pasar dan dukungan promosi produk.

Diantara puluhan negara partner VPA, hanya Indonesia yang diakui UE telah membangun sistem robust, yaitu menjamin bahwa hanya produk legal yang diekspor.

Faktanya, janji akses pasar dan dukungan promosi produk tidak ditepati. Malah UE seperti secara sepihak membatalkan kesepakatan yang dibangun, dengan mengeluarkan regulasi anti deforestasi yang saya tulis di muka.

Halaman:

Tags

Terkini

Banjir dan Hasrat Pembangunan

Kamis, 18 Desember 2025 | 11:03 WIB

Menjaga Alam Lewat Bauran Energi

Minggu, 7 Desember 2025 | 16:00 WIB

Simalakama AI untuk Media Massa

Minggu, 28 September 2025 | 13:00 WIB

Listrik Desa sebagai Jembatan Keadilan Energi

Minggu, 7 September 2025 | 13:56 WIB

Listrik Desa untuk Kesejahteraan Masyarakat

Rabu, 3 September 2025 | 20:14 WIB

Deforestasi Indonesia Tanggung Jawab Dunia

Minggu, 12 Januari 2025 | 12:16 WIB

Semua Ada Akhirnya

Rabu, 9 Oktober 2024 | 08:24 WIB