Kondisi ini menambah panas situasi, membuat kelompok Yahudi di Australia menyerukan ketenangan sembari melayangkan teguran kepada Netanyahu.
Namun, ketegangan ini juga menimbulkan kekhawatiran di dalam negeri. Komunitas Yahudi di Australia merasa semakin tidak aman setelah meningkatnya serangan antisemit, mulai dari vandalisme terhadap sinagoge hingga grafiti bernuansa kebencian.
Rabi Eli Feldman dari Sinagoga Newtown, yang pernah menjadi sasaran perusakan, mengingatkan bahwa retorika politik yang keras bisa berimbas langsung pada komunitas lokal.
Baca Juga: Pesona Danau Poso, Keindahan Alam dan Budaya di Jantung Sulawesi Tengah yang Mendunia
Jajak pendapat terbaru menunjukkan pergeseran signifikan. Survei DemosAU pada Agustus mengungkapkan bahwa 45% warga Australia mendukung pengakuan negara Palestina meski tanpa perjanjian damai resmi, meningkat dari 35% tahun sebelumnya. Hanya 23% yang menentang.
Media arus utama seperti Sydney Morning Herald bahkan menegaskan simpati terhadap Israel semakin terkikis, terutama setelah laporan kelaparan hebat di Gaza.
Charles Miller, dosen hubungan internasional di Universitas Nasional Australia, menilai gambar dan laporan dari Gaza menjadi faktor besar yang mengubah pandangan para pembuat kebijakan.
“Kondisi di lapangan benar-benar mengubah pola pikir banyak politisi, bukan hanya di Australia, tetapi juga di negara lain,” katanya.
Faktor Politik dan Dukungan Internasional
Secara historis, Australia dikenal sebagai salah satu negara pendukung utama Israel sejak berdirinya negara Yahudi tersebut.
Namun, Anthony Albanese, yang dikenal berhati-hati, kini melihat momentum politik yang berbeda.
Kemenangan besar Partai Buruh dalam pemilu bulan Mei lalu membuatnya lebih leluasa mengambil langkah berani.
Selain itu, keputusan sekutu besar seperti Inggris, Prancis, dan Kanada untuk lebih dulu menyatakan dukungan terhadap Palestina juga memberi landasan kuat bagi Australia.
Baca Juga: Khasiat Kelengkeng Merah, Buah Eksotis dengan Segudang Manfaat untuk Tubuh
Netanyahu vs Albanese