Namun, ada syarat yang harus dipenuhi oleh korban sebelum menerima "bantuan" tersebut. Mereka diwajibkan membayar biaya administrasi untuk proses pencairan dana.
Padahal, program bantuan seperti itu tidak pernah ada dan sama sekali tidak dikeluarkan oleh pemerintah.
JS telah menjalankan aksi ini sejak 2024 dan berhasil meraup keuntungan sebesar Rp65 juta.
Baca Juga: Kebijakan Pemangkasan Bantuan Luar Negeri AS di Bawah Trump Ancam Penanggulangan Kelaparan Global
Penyidik mengungkapkan bahwa jumlah korban mencapai sekitar 100 orang, yang tersebar di 20 provinsi.
Wilayah dengan korban terbanyak berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Papua.
Pelaku Dijerat UU ITE dan KUHP
Atas perbuatannya, JS harus menghadapi konsekuensi hukum. Ia dijerat dengan Pasal 51 Ayat (1) Jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Selain itu, ia juga dikenakan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Kasus ini menjadi pengingat bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati terhadap konten digital yang beredar di media sosial.
Kepolisian mengimbau agar masyarakat tidak mudah percaya dengan informasi yang belum terverifikasi, terutama yang menjanjikan bantuan finansial dengan syarat pembayaran tertentu.
Jika menemukan indikasi penipuan serupa, masyarakat diharapkan segera melaporkannya ke pihak berwenang.***(LL)
Artikel Terkait
Bareskrim Polri Sita Aset PT SMI Terkait Kasus Robot Trading Ilegal Senilai Rp49 Miliar
Bareskrim Polri Tetapkan PT AJP dan Komisarisnya Sebagai Tersangka dalam Kasus TPPU Terkait Judol
Mulai Mobil Mewah hingga Uang Tunai, Bareskrim Polri Sita Aset Senilai Rp1,5 Triliun dari Kasus Net89
Gunakan AI untuk Modus Penipuan, Sindikat Deepfake Presiden Prabowo Diringkus Bareskrim Polri
Bareskrim Polri Bongkar Pabrik Tembakau Sintetis di Sentul, 1 Ton Bahan Baku Bernilai Ratusan Miliar Disita