ESENSI.TV, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah menjadi sorotan publik.
RUU ini bertujuan merevisi aturan lama yang mengatur peran, tugas, serta posisi prajurit TNI di ranah sipil.
Salah satu poin paling kontroversial adalah usulan penambahan jumlah kementerian dan lembaga yang bisa diisi oleh perwira aktif TNI, dari 10 menjadi 16 posisi.
Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran akan semakin meluasnya peran militer dalam pemerintahan sipil, yang sejatinya berpotensi bertentangan dengan prinsip reformasi TNI pasca-reformasi 1998.
Kala itu, salah satu poin penting reformasi adalah menegaskan pemisahan antara militer dan urusan sipil, demi memastikan supremasi sipil dalam demokrasi.
Namun, alih-alih dibahas terbuka, proses pembahasan RUU ini justru menuai kritik keras.
Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TNI yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Jumat lalu, menambah kecurigaan publik.
Lokasi yang mewah dan terkesan eksklusif menimbulkan pertanyaan tentang efisiensi anggaran dan transparansi pembahasan.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, turut angkat bicara mengenai polemik ini.
Menurutnya, DPR seharusnya tidak terburu-buru membahas revisi RUU TNI, apalagi dengan cara yang terkesan tertutup.
Bivitri menilai ada potensi kemunduran demokrasi jika revisi ini lolos tanpa pengawasan publik.
Ia menyoroti rencana penambahan jabatan yang bisa diisi TNI aktif di berbagai kementerian dan lembaga.
Artikel Terkait
Pemerintah dan DPR Sepakat Soal Pengangkatan CASN 2024, Pegawai Non-ASN Tunggu Jadi PPPK di 2026
DPR Kritisi Pengangkatan Serentak CPNS dan PPPK: Harus Dilakukan Secara Adil
Viral! Puluhan Tahanan Kabur dari Lapas Kuta Aceh, DPR Desak Evaluasi Keamanan
Cegah Banjir Tahunan, DPR Tekankan Solusi Konkret dan Bantuan Cepat untuk Warga Bandung
Skandal Kecurangan MinyaKita Terungkap: Produsen Nakal Rugikan Konsumen, DPR Desak Penindakan Tegas