ESENSI.TV, GAZA - Di tengah situasi Gaza yang kian memprihatinkan akibat konflik berkepanjangan, muncul rencana dari Israel untuk membangun "kota kemanusiaan" sebagai tempat penampungan bagi ratusan ribu warga Palestina yang terusir.
Namun, hingga kini rencana tersebut belum memiliki bentuk nyata dan justru memunculkan polemik hebat di dalam negeri Israel sendiri.
Para pengamat menilai, alih-alih menjadi solusi kemanusiaan, gagasan ini justru menyulut kekhawatiran akan pembersihan etnis dan pengusiran paksa.
Gagasan ini pertama kali dilontarkan oleh Menteri Pertahanan Israel Yoav Katz pada awal Juli 2025, dan langsung menimbulkan pro dan kontra di kalangan pejabat serta masyarakat Israel.
Baca Juga: Ubah Passion Jadi Duit! Ini Cara Cerdas Gen Z Dapat Cuan dari Hobi Sehari-hari
Rencana tersebut disebut-sebut bertujuan untuk memindahkan sekitar 600.000 warga Palestina ke zona baru yang akan dibangun di wilayah selatan Gaza, tepatnya di dekat Rafah yang berbatasan langsung dengan Mesir.
Wilayah ini saat ini berada di bawah kendali militer Israel dan telah hancur akibat peperangan selama hampir dua tahun.
Pemerintah Israel, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, membela ide ini dengan dalih memberikan tempat aman bagi warga sipil Palestina, sekaligus melemahkan cengkeraman kelompok Hamas di wilayah tersebut.
Namun, kenyataannya, rencana konkret belum disusun. Netanyahu bahkan disebut menolak usulan awal dari militer karena dianggap terlalu mahal dan rumit, dan meminta solusi yang lebih cepat dan murah.
Baca Juga: Pesona Gedung Sate, Ikon Arsitektur Bersejarah yang Menawan di Jantung Kota Bandung
Menurut sumber militer Israel, proyek ini sangat kompleks karena membutuhkan infrastruktur lengkap seperti sanitasi, pengolahan limbah, layanan medis, hingga distribusi makanan dan air bersih.
Hingga kini, perencanaan masih dalam tahap awal dan belum ada cetak biru yang jelas.
Militer menegaskan bahwa tujuan dari zona baru ini adalah membantu warga Palestina yang tidak ingin hidup di bawah kendali Hamas.
Namun, kritik keras datang dari oposisi dan kelompok HAM. Beberapa menyamakan lokasi yang direncanakan dengan kamp konsentrasi dan khawatir hal ini akan menjadi kedok untuk pengusiran paksa warga Palestina.