ESENSI.TV, AMERIKA SERIKAT - Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan menetapkan larangan perjalanan bagi warga dari 12 negara.
Keputusan ini diambil dengan dalih menjaga keamanan nasional dari ancaman terorisme dan risiko keamanan lainnya.
Kebijakan ini langsung menuai reaksi keras dari berbagai negara dan lembaga internasional karena dinilai berpotensi mengganggu hubungan diplomatik, kerja sama pendidikan, serta pertukaran bisnis antara negara-negara yang terdampak dan Amerika Serikat.
Proklamasi tersebut ditandatangani Trump pada hari Rabu dan akan mulai berlaku pada 9 Juni 2025 pukul 00:01 waktu setempat.
Baca Juga: 5 Cara Memulai Bisnis Online dari Nol untuk Gen Z agar Cepat Cuan dan Berkembang
Dalam pernyataannya, Trump menegaskan bahwa pelarangan ini ditujukan untuk mencegah masuknya pihak-pihak yang dapat membahayakan keamanan Amerika.
Ia juga menyatakan bahwa daftar negara yang terkena larangan dapat diperluas sewaktu-waktu jika dianggap perlu.
Negara-negara yang sepenuhnya dilarang mengirim warganya ke AS antara lain Afghanistan, Myanmar, Chad, Republik Kongo, Guinea Ekuatorial, Eritrea, Haiti, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman.
Sementara itu, pembatasan sebagian diberlakukan untuk Burundi, Kuba, Laos, Sierra Leone, Togo, Turkmenistan, dan Venezuela.
Baca Juga: 5 Tips Cerdas Memilih Oli Motor Terbaik agar Mesin Lebih Awet dan Performa Stabil
Trump menyatakan bahwa negara-negara ini gagal dalam aspek keamanan seperti kerja sama intelijen, verifikasi identitas, hingga pencatatan pelanggaran visa.
Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan imigrasi ketat yang dihidupkan kembali Trump di awal masa jabatan keduanya.
Sebelumnya, ia juga telah mendeportasi ratusan warga Venezuela yang dicurigai sebagai anggota geng dan membatasi kehadiran mahasiswa asing, termasuk menolak sejumlah pendaftaran serta mendeportasi pelajar yang sudah berada di AS.
Respons dari komunitas internasional pun beragam. Komisi Uni Afrika menyatakan keprihatinannya karena larangan ini dapat merusak hubungan diplomatik dan akses pendidikan.
Artikel Terkait
Meski Akhiri Masa Tugas di Pemerintahan, Elon Musk danTrump Tetap Tampil Kompak
Lebih dari 30 Warga Gaza Tewas Ditembak Saat Antre Makanan, Israel dan Saksi Mata Saling Bantah Versi Kejadian
Karol Nawrocki Menang Pilpres Polandia, Tantangan Baru bagi Pemerintahan Pro Uni Eropa
Lee Jae Myung Resmi Jadi Presiden Korea Selatan, Janji Pulihkan Ekonomi dan Stabilitas Politik Pasca Krisis Militer
Euforia Berubah Petaka, 11 Nyawa Melayang dalam Perayaan Kemenangan RCB di Bengaluru, India