Tine kini dipenuhi warga Sudan yang melarikan diri dari kekerasan terbaru di al-Fashir, kota yang jatuh ke tangan RSF pada akhir Oktober.
Namun derasnya arus pengungsi tidak berjalan seiring dengan meningkatnya dukungan internasional.
Beberapa organisasi, seperti Médecins Sans Frontières (MSF), hadir di lokasi dengan klinik kecil dan pelayanan terbatas.
Menurut MSF, satu dari empat anak yang mereka temui mengalami malnutrisi, angka yang terus naik karena kedatangan keluarga baru setiap hari.
Baca Juga: Judistira Hermawan Dorong Optimalisasi Pembangunan dan Antisipasi Banjir di Ibukota
Program Pangan Dunia (WFP) memang kembali melakukan distribusi makanan, tetapi hanya untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan anak di bawah dua tahun. Sisanya tidak mendapat jaminan apa-apa.
“Kami tidak punya apa pun,” kata Nawal Abubakr Abdul Wahab, 49 tahun, mantan guru dari al-Fashir. “Tidak ada sepatu, tidak ada air. Hanya pakaian yang menempel di tubuh.”
Menurut UNHCR, lembaga tersebut baru menerima 38% dari kebutuhan anggaran $246 juta yang diperlukan untuk menangani krisis pengungsi Sudan di Chad.
Penurunan tajam bantuan dari Amerika Serikat, turun dari 68,4 juta USD pada 2024 menjadi 35,6 juta USD pada 2025, menjadi salah satu penyebab utama kekosongan dana.
Biasanya, kamp transit seperti Tine hanya menampung pengungsi sebentar sebelum mereka dipindahkan ke kamp yang lebih aman.
Baca Juga: PT Traktor Nusantara Buka Lowongan MT Department Head untuk Lulusan Baru
Namun karena kurangnya fasilitas air, sanitasi, dan tempat tinggal di kamp-kamp yang seharusnya menampung mereka, proses pemindahan melambat drastis.
Banyak pendatang baru bahkan tidak mendapatkan tenda, hanya selembar terpal tipis untuk berteduh dari sengatan matahari.
Kisah Ibrahim: Pelarian yang Diwarnai Tembakan
Ibrahim Mohamed Ishaq, 35 tahun, baru tiba di Tine pada 22 November bersama istri dan dua anaknya yang masih berusia 3 dan 5 tahun. Mereka melarikan diri dari kamp Abu Shouk ketika RSF mulai menyerbu al-Fashir.