ESENSI.TV, SUDAN - Di tengah gurun tandus yang memisahkan Sudan dan Chad, kehidupan berjalan pelan namun penuh ketegangan.
Setiap hari, puluhan keluarga tiba dengan wajah letih dan langkah goyah setelah menempuh perjalanan berbahaya menyelamatkan diri dari perang.
Namun setibanya di Tine, sebuah kamp transit kecil di perbatasan, mereka mendapati kenyataan pahit, yaitu hampir tidak ada bantuan internasional yang menunggu.
Yang ada justru tangan-tangan sesama pengungsi, yang meski tak punya banyak, tetap berusaha menyokong satu sama lain agar bisa bertahan.
Baca Juga: Mentawai dan Nias, Destinasi Eksotis yang Memikat Hati Para Penjelajah Dunia
Najwa, Dari Korban Kekerasan Menjadi Penopang
Di antara tenda-tenda darurat dan terpal plastik yang berkibar diterpa angin gurun, Najwa Isa Adam, 32 tahun, bergerak tanpa henti. Ia mengaduk panci besar berisi pasta dan daging, lalu membagikannya kepada anak-anak yatim dari al-Fashir.
Tidak ada yang menyangka bahwa wanita yang terlihat begitu tegar ini baru saja melewati pengalaman paling kelam dalam hidupnya.
Dalam pelarian pada Oktober lalu, Najwa ditangkap oleh empat anggota RSF dan disiksa serta diperkosa berulang kali. Ia hanya bisa selamat setelah seorang pria yang lewat mendengar jeritannya dan membantunya kabur.
Namun di kamp ini, alih-alih terpaku pada traumanya, Najwa memilih menjadi sumber kekuatan bagi orang lain.
Baca Juga: Alasan Penting yang Membuat Sarung Mobil Layak Dimiliki Setiap Pengendara
Dengan dana kecil hasil donasi sesama pengungsi di Tine, ia membeli bahan makanan dan memasaknya untuk pendatang baru.
“Di sini orang-orang benar-benar kelaparan,” ujarnya lirih. “Kami saling membantu karena hanya itu yang kami punya.”
Bantuan Terbatas, Kebutuhan Melonjak