"Air datang tanpa peringatan. Kau tidur malam masih punya rumah, tapi pagi-pagi, tepi sungai sudah bergeser. Kau bangun dan mendapati dirimu tunawisma," kata Habibur Rahman, seorang petani berusia 70 tahun.
Baca Juga: Benarkah Kentut Bisa Menyebabkan Mata Merah? Ini Faktanya!
Bagi penduduk char, hidup adalah siklus tanpa akhir dari membangun dan kehilangan. Setiap kali mereka mendirikan rumah baru, sungai kembali datang untuk mengambilnya.
Perjuangan Sebuah Negara di Tengah Krisis Iklim
Saat dunia menyoroti Brasil sebagai tuan rumah KTT Iklim PBB (COP30), kisah Bangladesh menjadi peringatan nyata tentang betapa rapuhnya kehidupan di garis depan perubahan iklim.
Negara ini sering dipuji karena ketangguhannya, membangun tanggul, memperbaiki sistem peringatan banjir, dan mengembangkan program adaptasi berbasis komunitas.
Namun, tanpa dukungan internasional dan pendanaan iklim yang memadai, semua upaya itu tak akan cukup.
“Orang-orang di sini membayar harga dari emisi yang tidak mereka sebabkan.Jika COP30 ingin berarti, harus ada pendanaan nyata untuk loss and damage agar negara rentan seperti kami bisa melindungi manusia dan tanah sebelum semuanya terlambat," ujar Ainun Nishat, pakar sumber daya air dan perubahan iklim.
Para ilmuwan menyebut apa yang terjadi di Kurigram sebagai bukti paling jelas dari perubahan iklim.
Pencairan gletser Himalaya yang memberi makan Sungai Brahmaputra dan Teesta kini berlangsung dua kali lebih cepat dibandingkan tahun 1990-an. Air ekstra itu menambah volume sungai yang sudah meluap.
Selain itu, pola musim hujan berubah drastis, datang lebih awal, berlangsung lebih lama, dan turun dalam curahan ekstrem yang singkat.
Irama musim sudah berubah. Ketika hujan, terlalu deras. Ketika berhenti, sering terjadi kekeringan. Ketidakstabilan ini memperparah banjir dan erosi," kata Nishat.
Padahal, Bangladesh menyumbang kurang dari 0,5% emisi karbon global, namun justru menjadi salah satu negara yang paling menderita akibat dampaknya.
Menurut Bank Dunia, satu dari tujuh warga Bangladesh berisiko kehilangan tempat tinggal akibat bencana terkait iklim pada tahun 2050.