ESENSI.TV, MATARAM - Para pengusaha hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat, tengah dibuat bingung sekaligus terkejut.
Pasalnya, mereka tiba-tiba menerima tagihan royalti lagu dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), meskipun mengaku tidak pernah memutar musik secara khusus di area hotel.
Tagihan tersebut datang setelah publik sempat heboh dengan kasus serupa yang menimpa gerai Mie Gacoan di Bali beberapa waktu lalu.
Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa, mengungkapkan bahwa LMKN beralasan kewajiban membayar royalti berlaku untuk semua jenis usaha yang menyediakan sarana hiburan, termasuk televisi di kamar hotel.
Baca Juga: 5 Resep Makanan Simple Favorit Gen Z yang Gampang Dibuat dan Bikin Ketagihan
Menurut LMKN, TV dapat digunakan tamu untuk mendengarkan musik, sehingga fasilitas tersebut termasuk kategori penggunaan karya cipta yang dikenai royalti.
“Teman-teman hotel sudah menerima surat dari LMKN. Walaupun hotel tidak memutar musik di area publik, mereka berargumen bahwa di kamar ada TV, dan TV itu bisa digunakan untuk mendengarkan musik. Jadi tetap wajib bayar,” ujar Adiyasa, dikutip dari Instagram @fakta.indo pada Rabu, 13 Agustus 2025.
Besaran royalti yang dikenakan, lanjutnya, dihitung berdasarkan jumlah kamar yang dimiliki hotel.
Untuk restoran atau kafe, perhitungannya berdasarkan jumlah kursi, sedangkan untuk hotel, kategori dibagi misalnya 0–50 kamar dikenakan tarif tertentu, dan 50–100 kamar tarifnya berbeda.
Baca Juga: Kenali Gejala Cacingan pada Balita dan Cara Pencegahannya yang Efektif
Adiyasa menambahkan, beberapa anggota AHM mengaku kaget dengan cara penagihan yang dinilai seperti menagih utang besar.
“Mereka sampai bertanya, kapan bisa bayar. Saya minta sementara ini teman-teman hotel yang menerima tagihan agar meminta ruang diskusi dengan LMKN dulu,” jelasnya.
Ia menilai kewajiban membayar royalti lagu ini menambah beban baru bagi pelaku usaha perhotelan, apalagi mereka sudah menanggung pajak pusat dan pajak daerah.
Karena itu, AHM berharap ada kajian ulang terhadap kebijakan ini, termasuk mekanisme penetapan dan penarifannya, agar tidak membebani sektor perhotelan yang masih berupaya pulih pascapandemi.