Bagi mereka, penghargaan, survei internal, atau predikat resmi tidak selalu mencerminkan kualitas pelayanan yang sesungguhnya.
Cerita warga, keluhan yang berulang, dan pengalaman personal sering kali dianggap lebih jujur daripada angka statistik.
Inilah sebabnya mengapa banyak Gen Z mempertanyakan legitimasi berbagai penilaian institusional.
Mereka tidak serta-merta menolak capaian lembaga negara, tetapi menuntut bukti konkret bahwa capaian tersebut benar-benar dirasakan publik luas, bukan hanya di atas kertas.
Media Sosial sebagai Ruang Kontrol Sosial
Media sosial berperan besar dalam membentuk sikap kritis Gen Z. Platform digital tidak hanya menjadi tempat hiburan, tetapi juga ruang kontrol sosial.
Di sanalah keluhan disuarakan, kasus viral diangkat, dan institusi dituntut memberi klarifikasi secara cepat dan terbuka.
Baca Juga: Emosi Warga Meledak! Kantor Polsek Muara Batang Gadis Dibakar Usai Terduga Pengedar Narkoba Dilepas
Namun, media sosial juga menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mendorong transparansi.
Di sisi lain, ia mempercepat hilangnya kepercayaan ketika institusi lambat merespons atau terkesan defensif.
Bagi Gen Z, diam atau jawaban normatif sering dianggap sebagai bentuk ketidakjujuran.
Bukan Anti-Institusi, Tapi Anti-Ketidakkonsistenan
Penting dicatat, krisis kepercayaan Gen Z bukan berarti mereka anti terhadap institusi publik.
Justru sebaliknya, mereka menginginkan institusi yang lebih akuntabel, manusiawi, dan responsif.
Gen Z cenderung menghargai lembaga yang mau mengakui kekurangan, terbuka terhadap kritik, dan menunjukkan perbaikan nyata.
Artikel Terkait
Ucapan Selamat Natal Singkat dan Estetik Ala Gen Z yang Cocok Dibagikan di Media Sosial
Rekomendasi Jus Rendah Kalori Favorit Gen Z untuk Mengontrol Lapar
6 Olahraga Pagi Favorit Gen Z yang Bikin Badan Lebih Segar
Menggugat Ketidakadilan, Cara Gen Z Menuntut Perubahan Nyata
5 Barang Wajib Favorit Gen Z yang Selalu Dibawa Saat Traveling