ESENSI.TV, JAKARTA - Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen terus menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pakar ekonomi.
Bagi sebagian pihak, kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara di tengah kebutuhan anggaran yang semakin besar.
Namun, bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kelas menengah, kenaikan ini dinilai akan menambah beban ekonomi mereka, terutama di tengah tekanan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Baca Juga: Sepanjang 2024, BNN RI Ungkap 14 Sindikat Narkotika Internasional
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mengingatkan pemerintah untuk mempersiapkan langkah mitigasi yang konkret agar kebijakan tersebut tidak berdampak buruk pada kelompok rentan.
Menurutnya, kebijakan fiskal seperti ini memerlukan dukungan program perlindungan sosial yang tepat sasaran dan memadai.
“Pemerintah perlu mempertebal jumlah penerima manfaat program perlindungan sosial, bukan hanya untuk rumah tangga miskin tetapi juga bagi kelompok hampir miskin atau rentan miskin,” ujar Said dalam keterangannya di Jakarta, dikutip pada Rabu, 25 Desember 2024.
Ia juga menekankan pentingnya memastikan program-program tersebut dilaksanakan tepat waktu dan benar-benar menjangkau mereka yang membutuhkan.
Said menyarankan agar subsidi yang ada saat ini diperluas, termasuk subsidi BBM, gas LPG, dan listrik untuk rumah tangga miskin hingga kelas menengah.
Bahkan, kelompok seperti pengemudi ojek online juga perlu tetap mendapatkan akses ke BBM bersubsidi.
Selain itu, subsidi transportasi umum dan perumahan bagi kelas menengah bawah, khususnya tipe rumah kecil dan rumah susun, harus menjadi prioritas.
Di sektor pendidikan, ia mendorong pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran bagi bantuan pendidikan dan beasiswa, sehingga lebih banyak siswa berprestasi dari keluarga miskin hingga menengah dapat merasakan manfaatnya.