Pola Sama: Kebijakan Longgar, Lemah Pengawasan
Penyebab deforestasi bisa berubah, namun mempunyai pola yang sama. Pertama, adanya policy inflation, kebijakan tereduksi semata untuk melayani kepentingan industri/ ekonomi, dan mengorbankan alam.
Banyak contohnya, semisal kebijakan hutan tanaman industri (HTI), yang diawali dengan clearing (dengan ijin pemanfaatan kayu) atas hutan alam yang dianggap sudah tidak produktif. Hutan alam hilang, pun HTI banyak yang tidak berhasil. Paket komplit.
Tidak jarang, deforestasi dan degradasi dilegitimasi dengan bungkus legal administratif. Belum lagi banyaknya kebijakan yang terfragmentasi dan tumpang tindih, rencana tata ruang terus berubah, dan orientasi jangka pendek mengalahkan keberlanjutan.
Masalah ini diperparah oleh capacity collapse. Koordinasi antar lembaga sering tidak berjalan baik. Ego sektoral membuat masing-masing sektor bergerak sendiri, tanpa orkestrasi. Belum lagi aspek pengawasan yang lemah: aparat terbatas, wilayah kelola yang luas, dan aturan yang mudah ditabrak dan dibelokkan.
Tantangan Terbaru
Banjir bandang Sumatra adalah cerminan kompleksitas tantangan tata kelola. Ini tidak berarti kita tidak pernah berupaya. Pemerintah pun tak henti memperbaiki tata kelola kehutanan melalui, penegakan hukum dan pembenahan perizinan untuk mencegah pembalakan liar. Apresiasi internasional pun ada. Indonesia pun disebut sebagai negara pertama, dan satu-satunya, yang diakui mempunyai sistem yang robust untuk mencegah pembalakan dan perdagangan kayu illegal.
Persoalan-persoalan kehutanan tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ada kelindan dengan sektor lain, seperti perkebunan, pangan/ pertanian, pertambangan, dan infrastruktur. Ketika kebijakan lintas sektor tidak selaras, upaya perlindungan hutan menjadi terkendala.
Jangan dilupakan munculnya monster baru, UU Cipta Kerja, yang secara jelas mendepresiasi fungsi hutan. Luasan tutupan hutan minimal dihapuskan. Prosedur alih fungsi hutan diserderhanakan, apalagi kalau diatasnamakan proyek strategis nasional. Intinya, pembangunan tidak dilandasi kepedulian atas sifat dan karakter alam.
Cermin Akumulasi Permasalahan
Banjir bandang di Sumatra bukan peristiwa mendadak, melainkan akumulasi dari kebijakan yang tidak arif, tata ruang yang bermasalah, dan pengawasan yang lemah selama bertahun-tahun. Bencana ini harus menjadi cermin besar bagi kita semua, dan pengingat untuk terus berbenah dan tidak saling menyalahkan.
Persoalan ini terlalu kompleks untuk ditimpakan pada satu aktor atau satu sektor. Kerusakan yang kita lihat hari ini adalah hasil dari keputusan panjang lintas waktu dan generasi, dan lintas kepentingan. Ke depan, yang dibutuhkan bukan hanya kebijakan yang lebih arif, tetapi juga kesungguhan untuk bertindak nyata. Mengurangi -atau bahkan menghentikan- deforestasi, rekonstruksi tata ruang yang lebih arif, pengetatan pelepasan kawasan hutan, memperkuat koordinasi dan pengawasan di lapangan harus dilakukan secara konsisten.
Banjir bandang Sumatra tidak harus menjadi takdir yang terus berulang, melainkan peringatan untuk memperbaiki cara kita mengelola ruang hidup secara lebih adil dan bertanggung jawab. Pembangunan sesungguhnya bukanlah seberapa cepat hasrat ekonomi tercapai, tapi seberapa bijak kita menahan diri, demi keberlanjutan dan keadilan lintas generasi.***
Penulis: Ahmad Maryudi
Guru Besar UGM – Deputy Coordinator bidang Kebijakan & Ekonomi Kehutanan
International Union for Forest Research Organizations (IUFRO, Vienna)