Namun dominasi mereka tidak bertahan lama. Pemerintah Benin, melalui kerja sama dengan negara tetangga Nigeria, bergerak cepat.
Nigeria mengirim jet tempur untuk mengamankan wilayah udara Benin serta pasukan darat guna membantu mengambil kembali stasiun televisi negara dan sebuah kamp militer yang sempat dikuasai kelompok pemberontak.
Dukungan internasional pun mengalir, ECOWAS dan Uni Afrika mengutuk keras upaya kudeta tersebut dan memerintahkan pengerahan pasukan siaga regional.
Hingga Minggu sore, juru bicara pemerintah Wilfried Leandre Houngbedji mengumumkan bahwa 14 orang telah ditangkap terkait percobaan kudeta tersebut.
Meski begitu, Presiden Talon menyebut masih ada warga yang ditahan oleh para pemberontak yang melarikan diri, meskipun belum ada konfirmasi mengenai korban jiwa atau jumlah sandera.
Baca Juga: Menjaga Alam Lewat Bauran Energi
Kondisi Cotonou sempat mencekam. Kedutaan Prancis memperingatkan warganya setelah terdengar tembakan di dekat kediaman Presiden Talon.
Polisi pun terlihat berjaga di titik-titik strategis pusat kota. Seorang warga bernama Narcisse menceritakan bagaimana ia mendadak menutup tokonya setelah mendengar rentetan tembakan sejak pagi hari.
“Awalnya saya pikir hanya suara petasan, tapi ketika melihat polisi bergegas, saya langsung menutup usaha saya,” ujarnya.
Upaya kudeta ini datang pada momen krusial menjelang pemilihan presiden April mendatang, yang disebut-sebut akan mengakhiri masa jabatan Talon.
Namun perubahan konstitusi baru-baru ini, termasuk penambahan masa jabatan presiden menjadi tujuh tahun dan pembentukan lembaga Senat, memicu kritik luas.
Baca Juga: Cara Pintar Gen Z Merawat Pakaian Thrift Agar Tetap Awet dan Stylish
Banyak pihak menilai langkah ini sebagai manuver politik koalisi pemerintah untuk memperkuat kekuasaan, apalagi Menteri Keuangan Romuald Wadagni telah diajukan sebagai kandidat penerus Talon.
Meski Benin dikenal stabil selama lima dekade tanpa kudeta, letupan pemberontakan kali ini menjadi alarm keras bahwa ancaman terhadap demokrasi tetap ada.