Tchiroma, yang sebelumnya menjabat sebagai juru bicara pemerintah dan menteri tenaga kerja, memutuskan meninggalkan pemerintahan Biya awal tahun ini dan maju sebagai calon presiden.
Kampanyenya menarik perhatian besar dari masyarakat, terutama karena didukung oleh sejumlah partai oposisi dan kelompok masyarakat sipil yang menginginkan perubahan.
Meski demikian, pemerintah sejauh ini menolak tudingan kecurangan pemilu yang dilayangkan pihak oposisi. Para pengamat menilai kemenangan Biya kali ini jauh dari legitimasi kuat.
“Mandat Biya kini goyah karena banyak warga Kamerun tidak percaya ia benar-benar memenangkan pemilu,” kata Murithi Mutiga, Direktur Program Afrika di International Crisis Group.
Baca Juga: Netanyahu Tantang Dunia, Israel Sendiri yang Putuskan Siapa yang Boleh Amankan Gaza
Sementara itu, Francois Conradie, analis politik dari Oxford Economics, memperkirakan ketegangan akan terus meningkat.
“Kami memprediksi ketidakstabilan akan memburuk karena sebagian besar rakyat menolak hasil resmi. Sulit membayangkan pemerintahan Biya bisa bertahan lama dalam situasi seperti ini,” ujarnya.
Paul Biya sendiri telah memimpin Kamerun sejak tahun 1982, setelah menggantikan Ahmadou Ahidjo.
Di bawah kepemimpinannya, ia berhasil menghapus batas masa jabatan presiden pada tahun 2008, yang memungkinkannya terus maju dalam pemilu berikutnya.
Meski usianya telah lanjut, Biya masih mempertahankan kendali kuat atas lembaga-lembaga negara dan aparat keamanan.
Baca Juga: Jangan Anggap Sepele! Ini Dampak Fatal Ban Mobil yang Terlalu Keras
Dewan Konstitusi menyatakan secara resmi, “Dengan perolehan suara terbanyak, kami menetapkan Paul Biya sebagai Presiden Republik Kamerun,” ujar Clement Atangana, ketua lembaga tersebut.
Kemenangan Biya mungkin memperpanjang era kepemimpinannya, tetapi bagi sebagian besar warga Kamerun, hasil ini justru menjadi simbol dari stagnasi politik dan lemahnya demokrasi di negara yang kaya sumber daya namun masih terbelit konflik dan kemiskinan tersebut.***(LL)