ESENSI.TV, JAKARTA - Fenomena masuknya selebritas ke dunia politik bukan lagi hal baru di Indonesia.
Dari periode ke periode, wajah-wajah artis kerap menghiasi daftar anggota DPR, bahkan sering kali mendominasi perolehan suara di daerah pemilihan tertentu.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menilai sistem pemilu saat ini memang cenderung menguntungkan figur publik, khususnya artis.
Akibatnya, banyak tokoh potensial dengan rekam jejak politik mumpuni justru tenggelam karena kalah bersaing dalam hal popularitas.
Baca Juga: Balai Diklat Keuangan Palembang Buka Rekrutmen PPNPN 2025, Cek Syarat Lengkapnya
Kritik masyarakat soal rendahnya kualitas sebagian anggota DPR pun menurut Yusril tidak bisa diabaikan.
“Realitas politik kita sekarang, orang-orang berbakat sulit tampil karena sistemnya lebih memberi jalan bagi selebritas atau artis. Itu sebabnya kualitas parlemen sering dipertanyakan publik. Pemerintah melihat hal ini sebagai masalah serius," jelas Yusril saat memberikan keterangan di Kompleks Istana, Jakarta, dikutip dari Instagram @fakta.indo pada Senin, 8 September 2025.
"Karena itu, sistem pemilu harus diubah. Tidak boleh lagi ada aturan threshold yang justru membatasi peluang politikus berkualitas untuk maju,” tambahnya.
Lebih lanjut, Yusril mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto sejak awal pemerintahan telah menekankan pentingnya reformasi politik yang lebih menyeluruh.
Baca Juga: Dorong Transparansi, Misbakhun Minta OJK Lebih Terbuka Soal Prioritas Program Kerja Tahun 2026
Tujuannya adalah menciptakan sistem yang benar-benar terbuka, bukan hanya dikuasai oleh figur populer atau kalangan berduit.
Dengan begitu, para politisi berbakat, akademisi, maupun tokoh masyarakat dengan kapasitas memadai bisa turut bersaing secara sehat untuk menjadi wakil rakyat.
Fenomena artis masuk ke parlemen bukan hanya terjadi di Indonesia. Yusril mencontohkan Filipina dan India sebagai negara berkembang yang juga memiliki pola serupa, di mana popularitas lebih dominan dibandingkan kapasitas politik.
Sebaliknya, di negara-negara berbasis meritokrasi seperti Singapura dan China, tradisi politik berjalan berbeda.