Aktivitas tersebut merusak kerapatan tajuk, menciptakan celah besar, dan menghilangkan fungsi perlindungan alami hutan. Ironisnya, praktik semacam ini sering kali terjadi tanpa pengawasan berarti dari pihak berwenang.
Ketika tajuk hutan rusak, air hujan jatuh langsung ke tanah tanpa hambatan, mempercepat erosi, melemahkan struktur tanah, dan meningkatkan risiko longsor.
Dalam kondisi inilah kayu-kayu besar terseret arus dan muncul di lokasi bencana, menjadi bukti nyata rusaknya lapisan vegetasi akibat ulah manusia.
Prof Bambang menegaskan bahwa temuan tersebut seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah.
Namun sayangnya, peringatan dari para akademisi dan pakar lingkungan kerap berakhir sebagai catatan tanpa tindak lanjut.
Selama pembiaran terhadap perusakan hutan terus terjadi, bencana serupa akan berulang, dan masyarakat kembali menjadi korban dari kegagalan pengelolaan lingkungan yang sistemik.***