ESENSI.TV, JAKARTA - Dunia peradilan kembali diguncang skandal besar. Tiga hakim nonaktif dari Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul, menghadapi dakwaan menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp4,67 miliar.
Uang ini diduga terkait vonis bebas yang mereka berikan kepada terdakwa kasus pembunuhan, Ronald Tannur, pada tahun 2024.
Sidang perdana kasus ini digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, pada Selasa, 24 Desember 2024.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) memaparkan bahwa ketiga hakim tersebut diduga menerima sejumlah uang untuk memengaruhi putusan perkara yang mereka tangani.
“Hadiah atau janji ini diberikan dengan tujuan agar para terdakwa menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur,” ungkap JPU dalam sidang pembacaan dakwaan.
JPU menguraikan bahwa ketiga hakim menerima uang tunai dalam bentuk rupiah serta berbagai mata uang asing, seperti dolar Singapura, yen Jepang, ringgit Malaysia, dan lainnya.
Uang tersebut diterima secara bertahap melalui berbagai sumber, termasuk dari Meirizka Widjaja Tannur, ibu Ronald Tannur, dan penasihat hukum Ronald, Lisa Rachmat.
Secara rinci, JPU menyebutkan total suap yang diterima sebesar Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura (setara Rp3,67 miliar).
Baca Juga: Kemensos Dorong Satu Data Nasional untuk Percepatan Transformasi Sosial-Ekonomi di Makassar
Salah satunya adalah uang tunai sebesar 48 ribu dolar Singapura (Rp571,2 juta) yang diterima Erintuah dari Meirizka dan Lisa.
Sementara itu, uang senilai 140 ribu dolar Singapura (Rp1,66 miliar) didistribusikan kepada ketiga terdakwa, dengan masing-masing menerima puluhan ribu dolar Singapura.
JPU juga menjelaskan bahwa uang tersebut diberikan untuk memengaruhi majelis hakim yang terdiri dari Erintuah sebagai ketua, serta Mangapul dan Heru sebagai anggota, dalam kasus pidana nomor 454/Pid.B/2024/PN.SBY.
Kasus ini bermula saat Meirizka meminta Lisa Rachmat menjadi penasihat hukum bagi Ronald Tannur.