ESENSI.TV, JAKARTA - Pemerintah Indonesia merencanakan penerapan subsidi atau Public Service Obligation (PSO) Kereta Rel Listrik (KRL) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada tahun 2025.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengatur subsidi transportasi publik dengan cara yang lebih terstruktur dan terukur. Namun, rencana ini menuai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak.
Subsidi berbasis NIK dirancang untuk memberikan bantuan tarif KRL yang lebih terjangkau hanya kepada pengguna dengan NIK tertentu.
Ide di balik kebijakan ini adalah untuk memanfaatkan data kependudukan dalam menentukan siapa yang berhak menerima subsidi.
Harapannya, ini akan membantu pemerintah dalam mengelola subsidi secara lebih efisien dan memastikan bantuan tepat sasaran.
Namun, kebijakan ini dinilai kontroversial oleh berbagai pihak. Kritik utama datang dari anggota Komisi V DPR RI, Sigit Sosiantomo, yang meminta pemerintah untuk menunda dan meninjau ulang kebijakan tersebut.Menurut Sigit, kebijakan ini dianggap diskriminatif dan tidak pro-rakyat.
Sigit menjelaskan bahwa subsidi KRL seharusnya mengacu pada prinsip kesamaan hak dan tidak boleh diskriminatif.
“PSO pada KRL adalah amanat UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian untuk menjamin tarif yang terjangkau bagi masyarakat. Sebagai bentuk pelayanan publik, pemberian subsidi KRL juga seharusnya mengedepankan prinsip kesamaan hak. Tidak boleh diskriminatif. Jika subsidi diberlakukan berdasarkan NIK, artinya sudah ada tindakan diskriminatif dalam pemberian layanan publik,” ujarnya, dikutip Rabu (4/9/2024).
Selain itu, Sigit menilai bahwa rencana pemerintah dapat menambah beban ekonomi bagi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang tidak memiliki akses ke subsidi.
Ia berpendapat bahwa kebijakan ini malah bisa membebani pengguna KRL yang bergantung pada transportasi umum untuk kegiatan sehari-hari.
“Kalau orang kaya, tentu lebih memilih mobil pribadi daripada KRL karena jauh lebih nyaman. Kalau kemudian dibatasi subsidinya dengan NIK, tentu akan membebani mereka karena tarif KRL akan naik. Saat daya beli masyarakat menurun dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, seharusnya PSO ditambah bukan malah dibatasi,” tegas Politisi Fraksi PKS ini.
Pelemahan daya beli masyarakat Indonesia di tahun 2024 disebabkan oleh berbagai faktor ekonomi, termasuk pengurangan subsidi di sektor energi dan inflasi akibat kenaikan harga barang dan jasa.
Data Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) edisi November 2023 menunjukkan penurunan rasio konsumsi di kelompok pengeluaran di bawah Rp5 juta, dengan penurunan terdalam di kelompok pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta dan Rp4,1 juta-Rp5 juta.
Sebagai langkah selanjutnya, Sigit meminta pemerintah untuk menunda dan meninjau ulang kebijakan PSO KRL berbasis NIK agar kebijakan tersebut bisa lebih adil dan sesuai dengan prinsip pelayanan publik.
Artikel Terkait
Anggota DPR RI Soroti Realisasi Anggaran Pendidikan yang Belum Optimal
DPR RI Dukung Pembentukan Komite Percepatan Pendidikan di Bawah Wapres
Kasus Fraud Indofarma, Komisi VI DPR RI Desak Reformasi BUMN Farmasi
DPR Tekankan Modernisasi Pesantren dalam Pembahasan Anggaran Kementerian Agama 2025
Komisi IV DPR RI Dukung Tambahan Anggaran Rp6,16 Triliun untuk KKP Tahun 2025