Pada tahun 2024, Indonesia mengambil langkah drastis dengan menaikkan tarif impor dari Cina hingga 200%. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi industri lokal dari gelombang produk impor yang terus meningkat. Menteri Perdagangan RI, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa kebijakan ini tidak hanya berlaku untuk barang konsumsi, tetapi juga menyasar berbagai produk lain yang dapat diproduksi di dalam negeri.
Baca Juga: KONI: Potensi Ekonomi dari PON 2024 Sekitar Rp300 M
Kenaikan tarif impor ini dilakukan dalam konteks yang lebih luas dari upaya Indonesia untuk mencapai kemandirian ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi Cina terhadap total impor non-migas Indonesia mencapai hampir 32% pada tahun 2023, dengan berbagai produk seperti mesin, peralatan listrik, besi, dan plastik menjadi mayoritas.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Indonesia Bisa Menjadi Negara Maju jika Pertumbuhan Ekonomi 6-8 Persen
Di sisi lain, keputusan ini juga diambil untuk menyeimbangkan neraca perdagangan Indonesia yang meskipun surplus di sektor non-migas, masih mengalami defisit di sektor migas. Dengan menaikkan tarif impor, pemerintah berharap dapat mengurangi defisit ini dan memperkuat industri lokal.
Baca Juga: Kemendag Diminta Perluas Pasar Ekspor, Tak Hanya Cina, India dan AS
Namun, kebijakan ini mendapat berbagai tanggapan dari para ekonom. Beberapa ahli mengingatkan bahwa restriksi impor yang terlalu ketat bisa berdampak negatif pada industri dalam negeri, terutama yang masih bergantung pada bahan baku impor. Harmonisasi kebijakan di berbagai sektor dianggap perlu agar tidak menghambat produktivitas dan kinerja industri nasional.
Secara keseluruhan, kebijakan kenaikan tarif impor hingga 200% ini merupakan langkah strategis pemerintah Indonesia untuk mendukung industrialisasi dan kemandirian ekonomi jangka panjang, meskipun masih perlu diimbangi dengan kebijakan lain yang mendukung kelancaran produksi dalam negeri.