Hampir 50 persen pembeli mobil listrik mempertimbangkan untuk kembali ke mobil bensin. Fenomena ini terjadi karena beberapa faktor kunci. Diantaranya infrastruktur pengisian daya yang kurang memadai, biaya pemeliharaan yang tidak sesuai ekspektasi, dan jarak tempuh baterai yang terbatas.
Menurut survei yang dilakukan oleh McKinsey, hanya 9 persen pengguna mobil listrik yang puas dengan perluasan jaringan pengisian daya publik. Sebagian besar pembeli merasa kesulitan menemukan stasiun pengisian yang memadai di wilayah mereka. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang kepraktisan kendaraan listrik dalam penggunaan sehari-hari. Selain itu, ekspektasi konsumen terhadap jarak tempuh minimum mobil listrik meningkat. Ekspektasi meningkat dari 435 kilometer pada 2022 menjadi 469 kilometer pada 2024, menambah tekanan bagi produsen untuk meningkatkan performa baterai.
Tidak hanya di Amerika Serikat, tantangan ini juga dirasakan oleh konsumen di Indonesia. Laporan dari PricewaterhouseCoopers (PwC) menunjukkan bahwa meskipun banyak konsumen tertarik pada mobil listrik karena alasan ramah lingkungan, citra kendaraan masa depan, dan biaya operasional yang lebih rendah, kekhawatiran terkait infrastruktur dan teknologi tetap menjadi hambatan utama.
Sebanyak 46 persen pembeli mobil listrik di Amerika Serikat mengungkapkan keinginan untuk kembali ke mobil berbahan bakar bensin. Salah satu alasan utama adalah minimnya stasiun pengisian daya publik, yang menjadi faktor penentu dalam pengalaman berkendara mereka. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mobil listrik menawarkan berbagai keuntungan, tantangan infrastruktur dan teknologi masih perlu diatasi untuk menarik lebih banyak konsumen agar beralih sepenuhnya dari kendaraan berbahan bakar fosil.
Dengan meningkatnya perhatian terhadap isu ini, diharapkan adanya peningkatan signifikan dalam investasi dan pengembangan infrastruktur pengisian daya publik, serta peningkatan efisiensi baterai untuk mendukung adopsi kendaraan listrik secara lebih luas di masa depan.