Sektor pertambangan energi tahun 2023 diprediksi relatif tidak banyak mengalami perubahan, meskipun secara natural harganya akan mengalami fluktuasi akibat perubahan permintaan dan pasokan. Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri juga belum bisa mencapai target.
Hasil riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menyebutkan dalam jangka menengah, kebijakan transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) di berbagai negara akan semakin intensif, sehingga akan berpengaruh kepada struktur pasokan dan permintaan energi.
Meningkatnya produksi EBT akan menurunkan permintaan global pada konsumsi energi fosil, khususnya minyak mentah dan batu bara. Namun, proses tersebut akan berlangsung secara gradual mengikuti kecepatan pemerintah di berbagai negara dalam melakukan transisi konsumsi energi fosil ke energi non-fosil.
Pemerintah Indonesia, misalnya, telah menetapkan bauran EBT sebesar mencapai 23 persen pada 2030, serta target zero emission pada 2060. Namun, dalam beberapa tahun terakhir pencapaian bauran energi nasional masih di bawah target. Pada tahun 2021, misalnya, capaian bauran EBT baru 11,5%, jauh di bawah target tahun itu sebesar 14,5%.
"Di samping itu, semakin pesatnya pertumbuhan penjualan mobil listrik dan semakin tinggi tingkat efisiensi produk tersebut menyebabkan tren penurunan permintaan bahan bakar untuk transportasi," tulis Core Indonesia dalam Core Economic Outlook 2023: Harnessing Resilience Againts Global Downturn.
Di berbagai negara pangsa pasar mobil listrik secara konsisten mengalami peningkatan. Pada tahun 2021, pangsa pasar mobil listrik yang teregistrasi di China sebesar mencapai 16 persen, sementara di AS dan Eropa masing-masing sebesar 5 persen dan 17 persen*
Harga batu bara tahun 2023 akan sangat dipengaruhi oleh prospek perekonomian negara-negara berkembang, khususnya China, yang pada tahun 2019, sebelum pandemi mengonsumsi 54 persen batu bara global.
Jika pemerintah China melakukan pelonggaran penanganan Covid-19 di China, yang kembali mendorong kenaikan permintaan energi, permintaan komoditas energi global akan kembali terdongkrak. Namun, pertumbuhan ekonomi China yang melambat tahun depan menyebabkan permintaan energi belum tidak akan setinggi dibandingkan masa pra-pandemi.
Rencana pemerintah China untuk mendorong produksi domestik batu bara hingga tahun 2025, setelah mengalami krisis energi tahun lalu, berpotensi mendorong pelemahan harga emas hitam itu, meskipun diperkirakan belum akan kembali ke level pra-pandemi.
Tingginya harga energi di pasar global memberikan dampak bervariasi bagi konsumen domestik. Pemerintah Indonesia sendiri sudah menegaskan bahwa pada APBN 2023 lifting minyak diharapkan sekitar 660 ribu barel, sementara perkiraan konsumsi minyak mentah diperkirakan akan melampaui 1,5 juta ton.
Dengan demikian, meskipun pemerintah telah menaikkan harga BBM tahun ini, pengeluaran APBN untuk melakukan impor masih akan lebih besar dibandingkan dengan penerimaan dari produksi domestik yang cenderung menurun.
Pemberian kompensasi dan subsidi pada beberapa produk BBM yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia menjadikan tekanan kenaikan energi di pasar global terhadap inflasi domestik relatif terkendali.
Di samping itu, harga batu bara yang masih tinggi tersebut tidak banyak mempengaruhi harga pokok produksi listrik (HPP) PLN. Sebabnya, pemerintah telah menetapkan harga batu bara untuk kelistrikan sebesar US$70 per ton, jauh di bawah harga batu bara internasional.
Kondisi tersebut berbeda dengan sejumlah negara yang melepaskan harga energi mereka ke pasar global, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat. Lonjakan inflasi energi telah menekan ekonomi mereka dengan signifikan sebelum ekonomi mereka benar-benar pulih dari pandemi.*
Editor: Erna Sari Ulina Girsang
Email: ernasariulinagirsang@esensi.tv