ESENSI.TV, NASIONAL - Ketentuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen memicu keresahan di masyarakat.
Meski seharusnya berlaku khusus untuk barang dan jasa mewah, beberapa perusahaan telah menerapkan tarif 12 persen untuk semua jenis barang dan jasa.
Kondisi ini dinilai bertentangan dengan arahan Presiden Prabowo yang menyatakan tarif 11 persen tetap berlaku untuk barang dan jasa nonmewah.
Kebingungan muncul akibat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, yang menggunakan dasar pengenaan pajak (DPP) dengan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.
Baca Juga: Berikut Strategi Menabung Gen Z Tips Jitu untuk Masa Depan Finansial Cerah
Meski secara teknis tarif PPN untuk barang nonmewah tetap dihitung sebagai 11 persen, interpretasi berbeda dari sejumlah pelaku usaha membuat tarif 12 persen diterapkan lebih luas dari yang seharusnya.
Presiden Prabowo sebelumnya menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Namun, implementasi teknis PMK terbaru dinilai kurang matang, menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat dan pelaku usaha.
Salah satu sorotan utama adalah persiapan yang dinilai terlalu singkat menjelang implementasi perubahan tarif pada 1 Januari 2025.
Banyak pelaku usaha belum sempat menyesuaikan sistem mereka, sehingga terjadi kesalahan dalam penerapan tarif PPN.
Hal ini berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen yang membayar lebih dari yang seharusnya.
Untuk meredakan keresahan, DPR melalui Komisi XI berencana memanggil jajaran Kementerian Keuangan dalam waktu dekat. Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, menegaskan bahwa aturan teknis yang multitafsir seperti ini tidak seharusnya diterapkan.
"Bahasa dalam aturan seperti PMK seharusnya sederhana dan jelas agar tidak menimbulkan kesalahpahaman," ujarnya.