PBNU merespons Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan fatwa haram bagi umat Islam untuk mengucapkan salam lintas agama berdimensi doa agama lain. Sebelumnya, Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI menyatakan salam lintas agama yang dinilai haram dan bukan bagian toleransi.
PBNU menyatakan NU belum pernah melakukan kajian mendalam membahas secara intens perihal fatwa hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII pada 28-31 Mei 2023 ini.
Katib 'Aam PBNU KH Akhmad Said Asrori mengatakan, PBNU belum pernah melakukan kajian secara mendalam dan membahas secara intens dalam berbagai forum resmi yang ada di lingkungan NU mengenai salam lintas agama.
Atas hal itu maka Katib 'Aam belum memberikan mandat atau tugas kepada siapapun di pengurus NU untuk menyampaikan pandangannya terkait hukum menyampaikan salam lintas agama sebagaimana fatwa MUI."PBNU tidak menugaskan dan memberikan mandat kepada siapa pun untuk berbicara atau menyampaikan pandangan tentang salam lintas agama," ujarnya dikutip dari CNN Indonesia, Minggu, 2 Juni 2024.
Said Asrori mengakui, sebetulnya selain dari hasil Ijtima Ulama, salam lintas agama juga pernah dilaksanakan Pengurus Wilayah NU (PWNU) Provinsi Jawa Timur. Kajian tersebut dilakukan melalui forum Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur pada 2019 silam.
Pada saat itu, kesimpulan Bahtsul Masail PWNU ialah pejabat Muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat 'Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh' atau diikuti ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, dan seterusnya.
"Namun, dalam kondisi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama," ungkap Akhmad Said Asrori.
Sebelumnya, dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia 2024, MUI telah menetapkan ketentuan bahwa ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. "Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh.
Dia menegaskan pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan. "Hal itu dikarenakan pengucapan salam dalam Islam merupakan doa yang bersifat ubudiah (bersifat peribadatan)," ungkapnya.
Wakil Sekretaris Jenderal MUI KH Arif Fahrudin juga telah menjelaskan, toleransi adalah sunnatullah dan sunnah Rasulullah SAW dan praktik ulama salafus salihin. Meski demikian, ia menekankan toleransi tetap memiliki batasnya.
"Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi, yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah aqidah dan ritual keagamaan (sinkretisme / talfiq al-adyan) sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah," tegasnya.
Namun, kata Arif, dalam hal muamalah dan relasi sosial-budaya, toleransi Rasulullah SAW kepada saudara antar umat beragama sangat penting untuk diteladani oleh umat Islam.
Arif yang juga Anggota SC Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII ini menjelaskan, keputusan dalam fatwa salam lintas agama juga memperhatikan pertimbangan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang plural.