MARAK kasus pembunuhan terhadap perempuan, Komnas Perempuan mengingatkan publik sadar tentang femisida.
Komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati mengatakan ada banyak korban perempuan dalam sejumlah kasus pembunuhan belakangan ini.
Di antaranya kasus ‘wanita dalam koper’ di Cikarang, kemudian ‘mutilasi Perempuan’ di Ciamis, dan ‘dibunuh karena mengigau’ di Minahasa Selatan.
Semua kasus ini menurut Retty bisa dikategorikan sebagai femisida yang didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya.
Selain itu, femisida juga bisa diakibatkan adanya eskalasi kekerasan berbasis gender sebelumnya.
“Komnas Perempuan mengajak seluruh pihak untuk menamainya sebagai femisida, dan merekomendasikan pemerintah membentuk femisida watch,” ujar dia dalam rilis dikutip Esensi.tv Senin (13/5).
Badan ini menurut dia akan mengenali dan membangun mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban.
Komnas perempuan sejauh ini sudah memantau pemberitaan media online tentang femisida.
Kasus indikasi femisida yang kuat pada 2020 terpantau 95 kasus, pada 2021 terpantau 237 kasus, pada 2022 terpantau 307 kasus dan pada 2023 terpantau 159 kasus.
Tiap tahun, menempatkan femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi.
“Tapi pantauan melalui pemberitaan memiliki keterbatasan, karena femisida bisa tidak terdeteksi melalui kata kunci yang digunakan,” ujar dia.
Selain itu ada juga perbedaan waktu pemberitaan dengan waktu terjadinya femisida serta tidak mendapatkan kontruksi kasus secara utuh, hanya didasarkan pada indikasi dari informasi yang dituliskan oleh wartawan.
Menurut dia pemerintah harus segera mengumpulkan, menganalisis dan mempublikasikan data statistik tentang femisida sebagai pelaksanaan dari Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 tahun 2017 dengan membentuk mekanisme femisida watch.
Komisioner Rainy M Hutabarat menambahkan selain femisida intim, kerentanan perempuan menjadi korban femisida juga dialami oleh perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks dari pengguna jasanya dan mucikari, transpuan dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas.
Karakteristik femisida intim bercirikan dengan adanya peningkatan intensitas dan muatan kekerasan fisik, kekerasan psikis berupa ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi dan tidak adanya lingkungan yang mendukung untuk melindungi korban.
“Pembeda utama femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Umumnya femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu motif. Dari motif yang teridentifikasi, cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggungjawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan. Motif-motif tersebut menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan. Termasuk dari kasus-kasus yang terjadi beberapa hari ini,” ujar Komisioner Rainy Hutabarat.
Mengingat femisida intim menjadi jenis femisida tertinggi, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengingatkan bahwa relasi perkawinan dan pacaran menjadi salah satu relasi yang tidak aman bagi Perempuan.
Negara diharapkan segera membangun mekanisme pencegahan agar kekerasan dalam relasi personal ini tidak berakhir dengan kematian.
Secara hukum, penanganan kasus femisida menggunakan ketentuan tindak pidana penghilangan nyawa atau tindak pidana yang menyebabkan kematian maka penting pendataan terpilah berdasarkan jenis kelamin dan motifnya dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
“Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan petugas layanan korban dalam mengidentifikasi femisida dan membangun penilaian tingkat bahaya bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sangat diperlukan.
“Agar saat mengidentifikasi korban dapat menggali fakta terkait faktor-faktor seperti relasi kuasa, rentetan KDRT, ancaman dan upaya manipulasi yang dilakukan pelaku, atau kekerasan seksual. Sehingga dalam menerapkan pasal-pasal dalam KUHP, UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak atau UU TPKS yang mengakibatkan kematian pada perempuan korban, hukumannya diperberat,” pungkasnya.