Kebakaran Hutan & Lumbung Pangan
Kompas melansir laporan khusus untuk mempelajari lebih dalam tentang sistem pangan lokal di Kalimantan Tengah dan peluang dan ancaman kebakaran hutan dari proyek food estate dan lumbung pangan yang dibangun untuk menggantikan larangan membakar pertanian.
Tradisi berladang ribuan tahun yang dipraktikkan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah berakhir dengan larangan membakar ladang. Penutupan ladang ini tidak hanya merusak ketahanan pangan, tetapi juga menyebabkan krisis multifaset di daerah pedesaan.
Sumber kebakaran
Iber Jamal, 83, seorang pemimpin suku Piran di Poulanpisau, mengatakan larangan membuka ladang tradisional diterapkan setelah kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 11 Tahun 2015 tentang Penguatan Pengelolaan Hutan dan Kebakaran, memperkenalkan larangan pembukaan lahan dengan membakar di daerah.
Larangan pembukaan ladang melalui pembakaran terbuka sebenarnya sudah ada dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan Perlindungan Lingkungan. Namun, larangan pembakaran di pertanian tradisional tidak berlaku hingga tahun 2015.
Menurut UU No. 32 Tahun 2009, Pasal 69 Ayat 2, larangan pembakaran terbuka adalah memperhatikan kearifan lokal daerah tersebut. Dalam uraiannya, kearifan lokal menyatakan bahwa hingga dua hektar lahan per rumah tangga harus dibakar dan ditanami dengan spesies asli, dikelilingi oleh sekat bakar untuk mencegah api menyebar.
Ibell mengatakan petani tradisional dijadikan kambing hitam atas kebakaran hutan dan lahan. Padahal, penyebab pertama kebakaran hutan besar di Kalimantan Tengah adalah rusaknya ekosistem gambut pasca Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) 1 Juta Ha pada 1995/1996.
“Saat itu saya memprotes bahwa (PPLG) datang ke Jakarta untuk membentuk aliansi di Kalimantan Tengah untuk memperjuangkan hutan dan membawa semua bukti kepemilikan tanah,” kata Iber.
Proyek tersebut saat ini membuka sekitar 1,4 juta hektar hutan dan lahan rawa yang terbagi menjadi lima blok, Blok A, B, C, D dan E. Rawa gambut yang berfungsi seperti spons untuk menahan air dikeringkan dengan membangun kanal yang mengalirkan air ke tiga sungai besar: sungai Kapuas, Kahayan, dan Balito.
Lahan gambut kering menjadi sumber kebakaran serius selama musim kemarau 1997, menurut Ibell. Sejak saat itu, hampir setiap tahun terjadi kebakaran di lokasi PLG, sebagian masih berupa semak belukar dan sebagian lagi perkebunan kelapa sawit.
“Kebakaran besar seperti tahun 2015 biasanya akibat ulah masyarakat dan perusahaan yang berusaha mengelola lahan seperti perkebunan besar, biasanya ketika terjadi kebakaran hutan, kami juga ikut memeranginya karena seperti yang terjadi tahun 2015, perkebunan karet akan rusak. jika api tidak padam,” kata Sanyo, 53, Mantil (sesepuh) Desa Calungpan. Dia kehilangan ribuan perkebunan karet karena kebakaran hutan pada tahun 2015.
Sanyo menambahkan, pembakaran ladang untuk keperluan pertanian bukanlah suatu kebetulan. Ada sejumlah aturan umum yang harus diikuti, seperti membuat partisi agar api tidak melintasi batas lapangan yang sedang dipindahkan. “Biasanya setiap keluarga membuka lahan 1,5 sampai 2 hektare,” ujarnya. "Kami telah melakukannya selama beberapa generasi, dan baru sekarang dilarang."
Karunpan Deriant dari Badan Perwakilan Desa (BPD) mengatakan beberapa warga diam-diam membakar lahan untuk membersihkan lahan mereka setelah pelarangan. Namun, penanaman padi ini berakhir dengan kegagalan akibat serbuan hama.
“Tanibiraki harus dilakukan secara kolektif oleh desa-desa, jika Anda menanam terlalu sedikit, sawah Anda akan diserbu hama,” katanya.
Beberapa petani mencoba menanam padi tanpa menggunakan api, salah satunya adalah Norhadi Karben, Ketua Kelompok Tani Tajeta di Manarangai, Kapuas. “Gulma dipotong dan dikumpulkan, disemprot dekomposer atau DNA4, kemudian tanah dicangkul dan digemburkan,” ujarnya.
Namun, menurut Norhadi, hasil padi dari pembakaran masih jauh lebih tinggi. Namun, tanpa pembakaran, ada biaya tambahan berupa mesin pemotong rumput, traktor, dan gergaji mesin untuk memotong kayu. Energi yang dikeluarkan juga berat. Menghadapi kesulitan tersebut, kelompok taninya menyerah.